Berikut adalah artikel mengenai green city yang diunduh dari website WWF Indonesia
Menuju Kota Bertaraf Ecocity
Saat ini ramai dibahas wacana pembentukan kota hijau (green city)
di berbagai daerah urban. Kota hijau dipersepsikan memiliki sejumlah
ruang hijau yang mampu menyediakan udara segar. Konsep kota hijau ini
mengandalkan keberadaan ruang hijau sebagai paru-paru kota yang diyakini
mampu menjadi penetralisir bagi dampak buruk produksi emisi khas
perkotaan yang lekat dengan gaya hidup konsumtif dan boros penggunaan
energi.
Konsep kota hijau memang dapat menjadi solusi tepat bagi
terimplementasikannya sebuah kota yang sehat, karena secara potensial
dapat mengendalikan sistem ekologi (suhu, erosi, dan banjir), sistem
sosial (kerukunan warga, tempat tinggal, sekolah, rumah sakit), serta
sistem ekonomi (lapangan pekerjaan). Namun seiring waktu, konsep ini
menghadapi tantangan dari berbagai permasalahan sosial yang sering kali
disebabkan oleh tingginya angka pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan
semakin sempitnya lahan di daerah urban. Kekhawatiran utama dari laju
pertumbuhan penduduk, selain menurunnya kualitas tempat hidup, akan
terjadi ketidakseimbangan antara ketersediaan sumber daya alam (SDA)
dengan pola konsumsi manusia. Lebih buruk lagi, lifestyle masyarakat di perkotaan kian tidak mengindahkan kelestarian alam.
Dalam diskusi bertema "Pembangunan Kota Hijau" di Kantor WWF-Indonesia pada 9 April 2013 lalu, Prof. Hadi S. Alikodra, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, memaparkan bahwa wilayah perkotaan merupakan microcosm permasalahan lingkungan yang terus berkembang seolah-olah tanpa batas, mengikuti irama dan dinamika pertumbuhan penduduknya yang terus meningkat. Manusia berinteraksi dengan sistem alam, namun dengan perilakunya yang boros dan kurang menjaga lingkungan. Di lain pihak, karena keterbatasan daya serap dan daya asimilasi lingkungan, lingkungan hidup perkotaan menjadi semakin rusak dan tercemar (ecological scarcity). Hal tersebut terjadi karena kota-kota besar menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, pusat pemerintahan, bahkan berbaur dengan pusat industri dan perdagangan. Hukum-hukum ekologi dan lingkungan termasuk tata ruang kota pun banyak dilanggar demi pembangunan dan keuntungan ekonomi semata.
Oleh karena itu, selain aksi perbanyakan ruang hijau, dibutuhkan
sebuah wawasan kesadaran yang mengarah kepada gaya hidup ramah
lingkungan yang berkelanjutan. Lewat makalah singkat namun mendalamnya,
Prof. Alikodra menyebutkan sejumlah kasus masalah lingkungan perkotaan
yang kian hari kian pelik. Sudah saatnya dikembangkan konsep yang tak
hanya mampu menciptakan lingkungan yang sehat dan nyaman, namun mampu
menjadi pengamanan ekologi (ecological security) yang tepat. Hasilnya, kini muncul konsep ecocity, yang memiliki lebih banyak elemen konservasi lingkungan karena menjalankan prinsip 3R (reduce, recycle, reuse).
Menurut Prof. Alikodra, penerapan gaya hidup ramah lingkungan menuju ke perwujudan ecocity
ini sudah harus segera diimplementasikan. Penulis buku “Pendekatan
Ecosophy Bagi Penyelamatan Bumi” yang juga menjabat Senior Advisor
WWF-Indonesia ini menyebutkan bahwa indikasinya bisa dilihat dari grafik
fantastis laju pertumbuhan manusia di perkotaan.
“Pada tahun 1950 jumlah penduduk perkotaan dunia yang berada di negara berkembang mencapai 38,92 persen. Tahun 1975 meningkat menjadi 51,07 persen, dan tahun 1990 hampir dua pertiga dari jumlah penduduk perkotaan di dunia bertempat tinggal di negara-negara yang pada umumnya adalah golongan negara miskin,” ujarnya. Inogichi pada penelitiannya di tahun 1999 menyebutkan bahwa pada tahun 2015 diproyeksikan 13 dari 15 kota besar dunia terletak di negara-negara berkembang. Kepadatan penduduk kota-kota metropolitan di Asia Tenggara seperti Jakarta, Bangkok, dan Manila semakin meningkat secara tajam. “Jika tidak mampu mengendalikannya, hal ini dapat menjadi bumerang yang menghambat pertumbuhan kota tersebut.”
“Pada tahun 1950 jumlah penduduk perkotaan dunia yang berada di negara berkembang mencapai 38,92 persen. Tahun 1975 meningkat menjadi 51,07 persen, dan tahun 1990 hampir dua pertiga dari jumlah penduduk perkotaan di dunia bertempat tinggal di negara-negara yang pada umumnya adalah golongan negara miskin,” ujarnya. Inogichi pada penelitiannya di tahun 1999 menyebutkan bahwa pada tahun 2015 diproyeksikan 13 dari 15 kota besar dunia terletak di negara-negara berkembang. Kepadatan penduduk kota-kota metropolitan di Asia Tenggara seperti Jakarta, Bangkok, dan Manila semakin meningkat secara tajam. “Jika tidak mampu mengendalikannya, hal ini dapat menjadi bumerang yang menghambat pertumbuhan kota tersebut.”
Jakarta pada siang hari harus mampu melayani warganya yang
berjumlah sembilan juta jiwa, jumlah warga Kota Metropolitan Bangkok pun
mungkin sudah melebihi angka sembilan juta jiwa. Di pagi hari, Kota
Jakarta maupun Bangkok diselimuti oleh asap tebal yang terdiri dari
berbagai bahan pencemar udara. Bahan pencemar ini datang dari berbagai
sumber, seperti knalpot kendaraan, sampah industri, sampah permukiman,
kebakaran hutan dan lahan, ataupun dari aktivitas gunung berapi.
Fenomena ini disebut Alikodra sebagai “Efek Rumah Bahang” (Urban Heat Island/UHI),
sebuah kondisi dimana suhu semakin panas karena banyaknya bahan
pencemar yang menyelimuti wilayah udara perkotaan sehingga semakin
pengap.
Permasalahan lingkungan di wilayah perkotaan semakin kompleks dan
rumit, semakin sulit mengatasinya. Setiap musim hujan, Gubernur Jakarta
dipusingkan dengan banjir yang menggenangi seluruh wilayahnya, Walikota
Semarang dipusingkan dengan banjir rob, bahkan Walikota Tarakan hingga
saat ini kebingungan untuk mengatasi banjir lumpur yang banyak
menenggelamkan rumah-rumah warganya. Warga Kota Banjarmasin, Banjarbaru,
Samarinda, Palangkaraya, Pontianak, dan Kota Balikpapan mengeluh karena
kurang mencukupinya pasokan tenaga listrik. Belum lagi masalah sampah
yang semakin sulit mengatasinya, dan masalah kelangkaan bahan bakar di
beberapa kota di luar Jawa.
Kota Tokyo menjadi salah satu contoh kota ramah lingkungan dan
telah menuju ke arah ecocity. Hal itu terwujud karena perilaku warganya
yang pro penghematan dan bahkan pengurangan emisi. Warga Tokyo mengganti
alat transportasi mobil pribadi dengan sepeda, atau melakukan car pooling. Mereka menerapkan kebiasaan memilah sampah dan mendaur ulang barang bekas. Dengan luas 2.187,08 km2
dan jumlah populasi sekitar 13 juta lebih orang, Tokyo merupakan kota
metropolitan terpadat di dunia. Namun dengan kesadaran ingin
mengembangkan tempat hidup yang nyaman berwawasan ecocity, pemerintah, sektor swasta, dan masyarakatnya saling bahu-membahu mewujudkannya. Sebuah kerja bersama yang berbuah manis.
Sebagai penutup paparannya, Prof. Alikodra mengimbau peserta yang
hadir dalam diskusi untuk menerapkan gaya hidup ramah lingkungan dan
menularkan perilaku ini kepada orang lain. Implementasi ecocity
atau kota berwawasan lingkungan membutuhkan proses yang panjang,
sehingga untuk mencapainya diperlukan tak hanya waktu yang cukup lama.
Diperlukan juga upaya jangka pendek dalam pengembangannya melalui
pembangunan kota hijau, serta perubahan lifestyle seluruh warga dan semua pihak terkait untuk berjiwa konservasi (mencintai dan melindungi alam).
No comments:
Post a Comment